Search

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Selasa, 25 Januari 2011

SUDAHKAH KITA MELAKUKAN YANG BENAR?

Ah, terus terang saya tidak tahu, apakah kita sudah melakukan sesuatu yang benar? Delapan tahun menjadi guru, apa yang saya hasilkan? Bagaimana dengan Anda? Apakah seperti saya? Saya berharap jangan.
Sebagai guru saya tentu saja mengajar. Ya, pasti dong. Itu kan tugas saya. Berarti saya sudah melakukan hal yang benar. Ya, memang benar saya mengajar. Saya sangat yakin Anda pun sudah melakukannya. Apakah saya mengajar dengan benar? Wah, saya sendiri tidak berani menjawabnya. Apakah Anda sudah mengajar dengan benar? Semoga saja.
Tetapi ingatlah Saudara-saudara, kita selama ini sering terjebak pada mengajar. Ingatlah Saudara-saudara bahwa kita seharusnya membelajarkan! Maafkan, sebenarnya kalimat-kalimat itu lebih tepat untuk saya sendiri.
Nah, di titik inilah kita mulai bimbang. Sudahkah kita melakukan sesuatu yang benar? Apakah kita mengajar karena tugas? Sebagai sebuah rutinitas? Dirasakan sebagai beban? Apakah karena sudah membuat RPP, menyiapkan lembar kerja, mengobservasi setiap anak selama beraktivitas, membuat aktivitas belajar yang menyenangkan, membuat penilaian, dan menyampaikan laporan berarti sudah melakukan hal yang benar?
Bukankah semua itu tugas mulia seorang guru? Betul, tapi semua hal tadi baru dalam tataran mengajar, belum membelajarkan. Guru akan lebih mulia kalau mampu membelajarkan. Dan ini yang seharusnya dilakukan semua guru. Jadi bolehlah saya bertanya lagi, sudahkah kita melakukan hal yang benar?
Tentu saja ada definisi dan semangat yang berbeda dalam aktivitas mengajar dan membelajarkan. Mengajar itu aktivitas searah. Mengajar berarti memberitahu, mentransfer pengetahuan. Artinya anak pasif. Sehebat dan semenyenangkan apa pun kalau sekedar memberikan apa yang kita ketahui kepada anak, tetap saja disebut mengajar.
Sedangkan membelajarkan mengandung spirit pemberdayaan. Yang dilakukan guru adalah membuat usaha agar anak mampu mengajari dirinya sendiri. Tentu saja ada usaha membangun kesadaran diri. Anak diajak mengenali mengapa dia perlu belajar, bagaimana cara belajarnya, sikap apa yang diperlukan untuk membuat aktivitas belajarnya sukses, dan manajemen diri.
Artinya, perlu waktu beberapa lama sebelum masuk ke materi. Ini hal mendasar yang membedakan pembelajaran dengan pengajaran. Mengajar bisa langsung masuk ke materi tanpa memperhatikan kesiapan anak, sedangkan pembelajaran menuntut anak benar-benar siap dan mampu belajar.
Saya sadar ada kekhawatiran. Waktunya tidak banyak, banyak kegiatan, banyak libur, bagaimana kalau materinya tidak selesai? Kalau masih berpikir tentang semua hal itu, berarti kita belum beranjak dari mengajar. Belajar itu tanggung jawab anak, sedangkan tanggung jawab guru adalah membuat anak mampu belajar.
Soal materi, itu bisa dimodifikasi. Saya yakin Anda bisa menyiasatinya. Kemampuan belajar lebih penting. Semakin dini dikembangkan akan semakin baik. Setelah anak mempunyai keterampilan belajar, segalanya akan terasa lebih ringan. Tidak percaya? Buktikan sendiri.

Sikap Positif

Belajar merupakan aktivitas multi inderawi. Ada faktor emosi yang berperan besar di dalamnya. Bahkan emosi merupakan faktor penentu keberhasilan belajar yang cukup besar.
Diawal, anak dikondisikan untuk merasa aman dan nyaman. Kondisi ini merupakan syarat terciptanya kemampuan belajar yang optimal. Anak tidak takut mengungkapkan rasa ingin tahunya, berani mencoba hal-hal baru tanpa ada beban takut salah, bertanya saat tidak tahu, dan berpendapat dengan penuh pertimbangan.
Apa yang orang perlukan ketika ragu-ragu? Sebenarnya tidak ada yang paling efektif menolongnya kecuali dirinya sendiri. Yang dapat menolongnya adalah keyakinan. Keyakinan bahwa apapun pilihannya, itu adalah sebuah keputusan yang harus diambil. Dengan demikian ia siap menerima apapun risikonya.
Keyakinan pulalah yang menjadi bahan bakar untuk bertahan dan mencapai kesuksesan. Banyak cerita sukses lahir dari sebuah keyakinan. Seorang atlet harus menerima kenyataan, 4 bulan menjelang olimpiade mendapat cedera saat latihan. Oleh dokter dinyatakan tidak akan pulih dalam waktu dekat. Pokoknya, peluang untuk ikut olimpiade sangat kecil, kalau tidak bisa dikatakan mustahil.
Lalu apa yang ia lakukan? Saat terbaring menunggu pulih dari cidera, ia selalu membayangkan dirinya sedang latihan di lintasan lari. Hal ini dilakukannya dengan penuh keyakinan bahwa ia tetap bisa menjaga kondisi dan meningkatkan kemampuaannya. Hasilnya? Iapun bisa ikut olimpiade dan memperoleh emas!
Tapi ini juga bukan berarti keyakinan adalah segala-galanya. Keyakinan akan menjadi faktor penentu kalau sebelumnya sudah ada bekal yang cukup. Sekali lagi, keyakinan adalah bahan bakar, yang tentu saja tidak berarti apa-apa kalau mesinnya tidak ada atau tidak kompatibel dalam usaha mencapai kesuksesan.
Saya akan membawa hal ini ke wilayah pembelajaran di sekolah. Adalah sangat penting menumbuhkan keyakinan pada anak. Yakin bahwa dirinya bisa, yakin bahwa apa yang akan dilakukan aman, yakin tidak akan dipermalukan, ditertawakan, atau dikatakan bodoh, yakin bahwa seluruh lingkungan akan mendukungnya.
Keyakinan ini akan menumbuhkan rasa aman, nyaman, dan percaya diri. Ketiga keadaan emosi inilah yang mendukung optimalnya proses belajar. Jadi merupakan suatu keharusan bagi seorang guru membuat anak merasa aman dan nyaman, serta menumbuhkan rasa percaya diri anak.
Apa yang harusnya dilakukan seorang guru kalau ada seorang anak sedang mendapatkan masalah dalam menyelesaikan tugasnya? Misalnya belum memahami apa yang harus dikerjakan. Apakah guru akan memarahinya, atau mengatakan bahwa ia bodoh? Atau apakah seorang guru selalu memberikan instruksi dan teguran sepanjang waktu belajar sehingga anak merasa diperlakukan sebagai anak yang tidak paham? Atau mungkin guru selalu mengancam dengan berbagai hal dan membanding-bandingkan anak?
Semua tindakan tadi membuat suasana belajar tidak nyaman. Ada perasaan tertekan, takut, dan direndahkan. So, perasaan-perasaan itu mengikuti proses belajar. Akibatnya tentu saja anak harus bertarung dengan perasaan-perasaan negatif tersebut. Ini tentu saja mempengaruhi kualitas belajarnya. Belajar tidak menjadi tempat yang menyenangkan.
Di sisi lain, keyakinan harus selalu dipompakan pada diri anak. Cari dan nyatakan kemampuan anak secara lugas. Beri kesempatan kepada anak untuk menunjukkan kemampuannya, dalam bidang apapun. Sebaiknya guru tidak banyak bicara sehingga anak mempunyai kesempatan untuk tampil. Kritik juga tidak diberikan saat anak sedang bekerja.

Sekolah Sendal Jepit

Sendal jepit, biasanya sih dipakai di kamar mandi. Lalu bagaimana kalau ada sekolah sendal jepit? Tentu saja bukan maksudnya ada sendal jepit yang sekolah.
Sekolah ini sebenarnya sama saja dengan sekolah yang lainnya. Ada bangunan gedungnya, ada ruang kelas dengan meja-kursi dan whiteboard-nya, ada guru-guru yang semuanya sarjana, dan ada hal-hal lain sewajarnya sekolah. Sekali lagi, sekolah ini sama dengan sekolah lainnya.
Tapi tidak semuanya sama, kok. “Dari TK mana, Dik?” pertanyaan ini sering terdengar ketika anak-anak dari sekolah ini sedang mengadakan perjalanan keluar. Bukan karena tubuh yang mungil, tapi bajunya yang tak seragam membuat orang langsung mengambil kesimpulan bahwa ini adalah rombongan TK, padahal mereka anak SD.
Tidak berseragam, sekolah macam apa? Ya, sekolah semacam ini, Sekolah Sendal Jepit. Bisa saja seragam dianggap sebagai identitas, tapi bukankah tidak berseragam juga menunjukkan identitas? Seragam sekolah hanya menunjukkan identitas sekolah, sedangkan pergi ke sekolah dengan tidak berseragam menunjukkan identitas pribadi.
Dengan berseragam bisa saja tidak terlalu kentara strata sosialnya, sehingga mungkin ada kesetaraan. Meskipun juga terlihat ada yang baju seragamnya halus dan harum, ada pula yang kucel dan kusam karena selama seminggu dipakai ke sekolah.
Sedangkan di Sekolah Sendal Jepit yang tak berseragam ini, anak-anak setiap hari bisa memilih baju yang ia pakai. Hebatnya lagi, ternyata tidak ada yang berlomba-lomba mengenakan baju paling bagus. Tidak ada persaingan baju mahal. Ternyata dalam ketidak seragaman terjadi kesetaraan.
Ini baru tampilan luarnya, baru bajunya saja. By the way, disebut Sekolah Sendal Jepit karena memang banyak sandal jepit di sekolah ini. Alas kaki tidak dipakai saat masuk ruangan, jadi yang praktis , ya menyimpan sandal jepit di sekolah. Yang lebih heboh lagi, beberapa anak memakai sendal jepit dari rumah. Artinya mereka memang bersendal jepit pergi dan pulang sekolah. Lho, kok?
Bisa saja hal tersebut dipandang kurang pantas, tapi justru dihargai di sekolah ini. Walah. Ketika memutuskan memakai sandal jepit tentu anak sudah punya pertimbangan. Dan ini bukan hal yang mudah. Memakai sandal jepit ke sekolah itu tidak lumrah, bertentangan dengan kebiasaan. Kalau tidak kuat mental tentu tidak akan berhasil melakukannya. Ini yang dihargai, keputusan anak dan keberaniannya. Masalah lainnya bisa diselesaikan sering perjalanan waktu.
Dari sisi pembahasan yang lebih kontemplatif, Sekolah Sendal Jepit hanya ibarat saja. Sendal jepit itu praktis, tidak ribet memakainya. Begitu juga sekolah, harusnya tidak membuang-buang waktu dengan urusan yang rumit. Belajar dengan tidak menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak menambah keterampilan dan mengembangkan potensi. Sekolah seharusnya membuat anak mampu belajar, bukan mengajari anak. Praktis.
Sendal jepit dipakai oleh semua lapisan. Inklusif. Sekolah melayani anak dari berbagai latar belakang sosial, budaya, bakat, dan potensi. Sendal jepit biasa dibawa kemana pun. Ia menjelajahi banyak hal dan tempat. Sekolah menyediakan kegiatan yang eksploratif. Anak melakukan banyak hal dan mendapat banyak pengalaman.
Pernahkah Anda melihat sendal jepit, tepatnya bekas sendal jepit, dipakai mainan? Jadi roda mobil-mobilan, misalnya. Atau dijadikan rem oleh tukang becak? Mungkin juga dijadikan pengganjal. Yang jelas, ketika rusak pun, sendal jepit masih bisa dimanfaatkan. Begitu pun belajar. Seharusnya tidak ada yang terbuang sia-sia. Materinya memang dibutuhkan anak, proses belajarnya memberdayakan, metode yang dipakai membuat anak semakin terampil dan menguasai banyak kemampuan.
Bukanlah belajar kalau ternyata memperdaya anak. Akan terbuang sia-sia jika materinya jauh dari yang dibutuhkan anak. Tidak berguna bila metode yang dipakai adalah cara-cara praktis, konsep ditinggalkan. Tanyalah diri kita sendiri, berapa persen pengetahuan yang kita pelajari di sekolah yang masih kita gunakan sampai sekarang? Untunglah ada sekolah Sendal Jepit. Tidak ada yang terbuang, apapun kondisinya tetap bermanfaat.

Persiapan Mengajar

Mengajar adalah melayani. Sebuah pelayanan yang baik tentu saja membutuhkan persiapan yang matang. Apa yang dipersiapkan? Materi dan kegiatan tentu saja menjadi komponen utamanya. Yang lainnya adalah kondisi fisik dan emosi. Dua hal ini sangat penting untuk diperhatikan.

a. Materi
Ada dua sudut pandang terhadap materi pembelajaran. Yang pertama sebagai sebuah tujuan. ini berhubungan dengan penguasaan konten materi. Yang kedua, materi pembelajaran merupakan sarana untuk mengembangkan softskills dan keterampilan belajar (how to learn). Softskills dan keterampilan belajar dikembangkan dalam proses penguasaan materi.
Dua sudut pandang ini akan mempengaruhi pemilihan kegiatan pembelajaran. Belajar bukan sekedar menguasai materi tetapi juga mengembangkan berbagai kemampuan. Kemampuan-kemampuan tersebut, softskills dan keterampilan belajar, merupakan keterampilan dasar yang bersifat umum dan aplikatif.
Beberapa hal yang diperhatikan dalam pemilihan materi:
 Kesesuaian dengan kebutuhan anak
 Kesesuaian dengan tahap perkembangan anak
 Kesesuaian dengan kondisi alam dan sosial
 Alokasi waktu yang dibutuhkan
 Urutan pemberian materi
 Pemilahan antara materi yang sangat penting, penting, dan kurang penting
 Tema pembelajaran, untuk yang bersifat tematis
Materi utama berdasarkan kurikulum nasional yang berlaku. Materi tersebut bersifat cair, tidak terpaku pada apa yang tercantum dalam kurikulum. Materi dikembangkan secara mendalam dan juga melebar.
Materi bisa dilebarkan secara integral dengan materi yang lain, bisa juga memperkaya anak dengan membuatnya lebih dalam. Tekniknya bisa dengan membuat kegiatan yang melibatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kegiatan yang dimaksud diantaranya aplikasi, analisa, sintesa, dan evaluasi.
Aplikasi dapat diartikan dengan kemampuan menggunakan pengetahuan dalam keadaan yang berbeda, misalnya menggabungkan dua fakta atau lebih menjadi sebuah hal baru. Contoh kegiatannya antara lain membuat diorama atau surat.
Analisis merupakan kemampuan memisahkan sebuah atau beberapa fakta dari fakta yang lebih besar. Misalnya membuat teka-teki silang dan grafik.
Sintetis adalah kebalikan dari analisis. Dalam sintesis dituntut kemampuan untuk menggabungkan beberapa fakta sehingga menghasilkan hal yang baru. Contohnya membuat desain rumah ramah lingkungan.
Tahap tertinggi, evaluasi, merupakan kemampuan untuk menilai, menimbang, dan memberikan putusan. Misalnya memberikan masukan kepada pemerintah daerah tentang cara mengatasi banjir.
Ketika akan masuk kelas, guru sudah mempunyai materi ajar dan bagaimana cara mengajarkannya. Bahkan jauh sebelumnya, sudah ada rencana penyampaian materi untuk satu tahun ajaran.
Bahan dan sumber belajar juga harus dipastikan siap untuk digunakan. Menjadi sebuah prosedur pribadi untuk memastikan rencana pembelajaran dapat berjalan dengan baik.

b. Ketahanan Fisik dan Emosi
Kegiatan belajar dengan banyak aktivitas dan semua implikasi yang mengikutinya, membutuhkan stamina tubuh yang prima. Ada tuntutan untuk selalu tampil all out, menampilkan sikap tubuh yang penuh optimisme dan ceria. Rasa lelah dan loyo tidak semestinya ditunjukkan kepada anak, apalagi secara verbal. Jadi, sebelum masuk kelas, pastikan bahwa kondisi tubuh memang layak mengajar.
Bukan hanya tampilan fisik, kondisi psikologis dan emosipun mempengaruhi kinerja. Ketika di kelas, total energi fokus pada anak. Masalah yang ada sedapat mungkin dilupakan terlebih dahulu, apapun masalahnya. Siapkan pula untuk menghadapi semua kondisi yang bisa jadi tidak terduga. Bersifatlah fleksibel.

Menuju Guru Efektif

Sebagai seorang guru, apakah Anda memerintah, mengatur, dan memimpin anak-anak, murid-murid Anda? Kalau memerintah, artinya Anda adalah penguasa, orang yang menguasai mereka. Kalau Anda mengatur berarti kesempatan anak-anak menjadi manajer bagi dirinya sendiri berkurang. Kalau Anda memimpin, kapan anak menjadi leader?
Penjungkirbalikan perlu dilakukan. Bukan untuk membuat pusing, tapi untuk mendapatkan sudut pandang baru. Langkah-langkah yang kita tempuh tidak selalu menguatkan. Lebih sering membuat kita jengah, lengah. Saat itulah kita butuh penyegaran.
Memandang dari sisi yang berbeda menghasilkan keterkejutan karena hasil bidiknya yang tidak biasa. Kalau biasa memerintah, cobalah mengajak murid-murid Anda. Maka Anda akan dikejutkan betapa lebih antusiasnya mereka. Kenapa? Karena mereka, murid-murid Anda merasakan ada medan keakraban yang anda pancarkan. Medan keakraban ini membuat mereka nyaman.
Bagaimana kalau biasa mengatur? Cobalah bebaskan mereka, berilah kepercayaan. Buka pintu kesempatan selebar-lebarnya bagi alternatif kegiatan dan cara bekerja. Kejutan apa yang akan Anda dapat? Anda akan melihat betapa kreatifnya murid-murid Anda. Anda mungkin tidak menyangka betapa kaya mereka dengan ide-ide yang selama ini terkekang karena banyaknya aturan. Selanjutnya Anda akan menjadi saksi tumbuhnya rasa percaya diri dan sikap positif. Buah kepercayaan yang Anda berikan adalah berkembangnya diri dan kemampuan mereka.
Selanjutnya, kalau tidak memimpin anak-anak, apa yang harus dilakukan? Anda tidak harus selalu di depan. Berilah kesempatan lebih banyak kepada anak-anak untuk memimpin. Lebih baik Anda sering-sering berada di tengah dan di belakang. Ketika di tengah, saat itulah Anda menjadi seorang motivator yang menyulut api semangat sehingga berkobar menyala-nyala. Waktu berada di belakang, Anda mempunyai ruang pandang yang lebih luas. Anda bisa memonitor aktivitas dengan lebih baik. Saatnya Anda menjadi pengamat yang mampu memberi masukan positif dan konstruktif.
Sebagai guru, Anda mempunyai peran mengembangkan keahlian, bukan mematikan potensi. Menjadi dominan di kelas bukanlah sebuah cara tepat untuk memainkan peran tersebut. Sudah saatnya guru melihat lagi posisinya.
Dalam tataran aktivitas mengajar, banyaklah bergerak. Berdirilah dalam posisi yang menyatakan Anda adalah pribadi yang percaya diri. Melangkahlah untuk menarik perhatian. Gerakkan tangan untuk membangkitkan motivasi. Pilih kata-kata pembakar energi potensial mereka.
Lalu bawakan materi pelajaran dengan mengedepankan kemampuan berpikir. Jangan langsung membebani anak dengan hafalan. Beri mereka kesempatan mengembangkan kemampuan bernalar dan memecahkan masalah. Ajarkan anak mendekatkan materi yang dipelajari dengan pengalaman diri dan kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik, dan aspek kehidupan lainnya yang ada di sekelilingnya.
Kunci sukses lain untuk menjadi guru yang efektif adalah memberi kesempatan yang lebih banyak kepada anak. Tidak perlu langsung mengambil alih kalau anak melakukan kesalahan. Tidak juga langsung menunjukkan yang benar. Biarkan anak mengetahui hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan supaya tidak menemukan kegagalan. Ketika Thomas Alva Edison berulangkali ‘gagal’ dalam percobaannya, ia tidak menyebutkan gagal. Thomas Alva Edison mengatakan telah menemukan banyak cara agar tidak gagal membuat lampu, dan hanya satu cara agar berhasil.
Kalau Anda belum biasa melakukannya, mulailah dari sekarang. Sekarang juga, jangan ditunda.

Menanamkan Nilai-nilai Dalam Pembelajaran

Tujuan akhir dari proses pembelajaran adalah adanya perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku ini merupakan usaha yang terstruktur. Artinya secara sengaja ada usaha dan proses agar perilaku anak semakin baik.
Saat menyusun rencana pembelajaran, seorang guru hendaknya sudah mempunyai tujuan nilai apa yang harus dicapai muridnya ketika materi sudah dipelajari. Nilai-nilai itu tentu saja yang relevan dengan materi terkait.
Apa pentingnya memberikan atribut nilai dalam pembelajaran? Materi dalam kurikulum kebanyakan berupa pengetahuan saja. Pengetahuan memang bisa menjadikan seseorang pandai, tapi belum tentu bisa menjadikan seseorang bermoral baik. Seseorang yang banyak pengetahuan tetapi bermoral buruk tentu saja sangat berbahaya.
Moral yang baik dapat dikembangkan dengan menanamkan nilai-nilai dalam pembelajaran. Harus diakui saat ini sekolah terlalu fokus pada penguasaan materi pembelajaran secara dangkal. Dangkal dalam arti hanya berupa hafalan-hafalan semata. Pembelajaran yang demikian menghasilkan manusia yang mekanis. Pemikiran mekanis selalu memandang sesuatu dengan dua kemungkinan dan jawaban saja, ya atau tidak. Pemikiran seperti ini kemudian menjadikan seseorang tidak fleksibel, kurang mampu menerima perbedaan, dan cenderung tidak peduli pada orang lain dan lingkungan, termasuk tata krama, norma, maupun hukum yang berlaku.
Dunia pendidikan, di samping keluarga dan masyarakat, memikul tanggung jawab terhadap perkembangan anak dalam interaksi dengan lingkungan dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang dianut masyarakatnya.
Bahkan bukan hanya interaksi sosial dengan sesama makhluk hidup, penanaman nilai juga merupakan upaya membangun hubungan baik dengan Sang Pencipta. Menghargai sesama sebagai makhluk ciptaan-Nya, memelihara lingkungan sebagai ungkapan syukur, dan mengagumi keagungan-Nya melalui fenomena alam dan segala keteraturannya sehingga menambah keyakinan terhadap kekuasaan Tuhan merupakan cara meningkatkan kualitas interaksi dengan-Nya.
Kehidupan yang tanpa nilai-nilai tak ubahnya sebuah rimba dimana siapa saja bisa berlaku seenaknya, tidak ada rasa peduli dan menghormati. Tata kehidupan seperti ini tentu saja akan merusak peradaban, bahkan akan menghancurkannya.
Dalam konteks kita saat ini, penanaman nilai dalam pembelajaran mutlak dilakukan. Budaya bangsa kita saat ini sedaang berada dalam kondisi yang sangat parah. Kerusakan moral dan lingkungan hidup merupakan hasil dari kurangnya nilai-nilai kehidupan warga negara.
Oleh karenanya, sudut pandang dunia pendidikan sudah waktunya digeser. Penguasaan materi di satu sisi memang penting, namun ada hal yang lebih penting lagi, untuk apa materi tersebut dikuasai? Kalau sudah menguasai mau apa? Apa gunanya bagi kehidupan? Dapatkah materi tersebut mengajak anak berpikir, merenungi fenomena yang lebih dalam dan luas dibalik pengetahuan?
Artinya, materi dan proses mendapatkannya haruslah membuat anak terbuka pikiran dan hatinya. Terbuka bahwa ada banyak kemungkinan, bahwa segala sesuatu selalu berkembang. Terbuka untuk menerima perbedaan dan menghargai orang lain, pendapat, dan kepentingannya. Terbuka sehingga mampu melihat, membedakan, dan mengidentifikasi hal baik yang layak dicontoh, serta yang buruk untuk tidak diikuti.
Hendaknya hal tersebut bukan hanya embel-embel saja, tetapi merupakan sesuatu yang inheren dalam pembelajaran. Penanaman nilai merupakan bagian kurikulum yang diolah sendiri oleh guru dan sekolah sebagai pengembang kurikulum. Apapun materinya hendaknya dikaitkan dengan nilai-nilai kehidupan yang berlaku umum, serta mengikatnya menjadi sebuah pemaknaan terhadap nilai-nilai ketuhanan.
Anak sering diajak berpikir, merenung, bertukar pendapat, bertanya, mencari jawabannya, memilih, memutuskan, memberikan argumentasi. Guru memberikan stimulus yang dekat dengan kehidupan. Pengalaman sendiri, pengalaman anak, film yang sedang populer, lagu yang sedang disukai, serta permainan yang sedang digemari merupakan contoh sumber inspirasi untuk menghubungkan materi pelajaran dengan nilai-nilai yang akan diajarkan.
Nilai-nilai yang diajarkan bukanlah sesuatu yang abstrak, tapi contoh konkret. Misalnya perdamaian, bukan dengan banyak bicara tentang definisinya tetapi hal apa dari materi pelajaran yang berhubungan dengan perdamaian. Setelah itu tunjukkan contoh nyata yang pernah terjadi.
Penanaman nilai juga tidak bersifat dogmatis, tetapi ada internalisasi dalam diri anak. Hal ini mensyaratkan adanya pemahaman anak terhadap nilai-nilai yang dikembangkan. Anak sadar pentingnya nilai tersebut dikembangkan dan mempunyai keinginan yang kuat untuk mampu mengaplikasikan, walaupun dalam lingkup yang paling kecil sekalipun.
Pembelajaran yang demikian menjadikan sekolah sebagai sebuah klinik yang mengobati penyakit masyarakat dan juga sebagai sebuah pusat pembinaan generasi yang tidak saja kompeten, tetapi juga berakhlak mulia. Ini mungkin yang disebut sebagai membangun manusia seutuhnya.

Mengajarkan Kreativitas

Pertanyaan yang mendahuluinya adalah perlukah kreativitas diajarkan? Kalau perlu, apakah sekolah yang mengajarkan kreativitas kepada anak-anak? Bila jawaban atas pertanyaan tersebut adalah “Ya”, apakah kreativitas diajarkan sebagai bagian dari materi tiap bidang studi atau sebagai subjek yang terpisah? Bagaimana cara mengajarkannya?
Sebaiknya kita mulai dengan menyamakan pandangan tentang makna kreativitas. Apakah kreativitas hanya identik dengan seni?
Banyak definisi tentang kreativitas. Banyak pula yang berpandangan bahwa kreatifitas adalah kemampuan membuat sesuatu yang hasilnya sangat bagus. Pandangan ini menurut saya tidak sepenuhnya salah. Tapi juga belum sepenuhnya benar. Kreativitas tidak terbatas pada kemampuan memproduk sebuah benda atau barang, tetapi juga pada ide, cara pandang, dan pemecahan masalah. Kreativitas merupakan kemampuan dalam mempersepsi atau melakukan sesuatu dan memecahkan masalah dengan cara baru yang tidak biasa.
Kemajuan dalam berbagai bidang seperti yang terjadi sekarang dipandang sebagian orang membunuh atau menghambat potensi kreatif seseorang. Anak dengan mudah mendapatkan mainan, tidak perlu membuatnya sendiri seperti jaman dulu. Teknologi yang semakin mudah dipakai dan dan multi guna serta mampu mengakses berbagai hal membuat orang malas berpikir.
Benarkah hal tersebut mengakibatkan daya kreatif akan berkurang? Perkembangan teknologi membuat orang lebih mudah dalam menjalankan aktivitasnya, karena banyak peralatan yang bisa membantu. Dengan demikian orangpun punya waktu untuk mengerjakan hal lainnnya atau waktu luang yang lebih banyak. Waktu luang yang ada jika hanya dipakai untuk kegiatan yang bersifat pasif, misalnya habis untuk menikmati hiburan, bisa jadi kemajuan jaman membuat orang tergerus daya kreatifnya.
Dilain pihak, bila teknologi dipakai untuk menjawab tantangan jaman maka sebenarnya tidak ada potensi kreatif yang hilang. Terlebih kreativitas bukan hanya terbatas pada produk berupa barang, tetapi juga ide, gagasan, dan pemikiran. Kalau cara berpikir kita seperti ini, maka semakin maju semakin besar tuntutan untuk mampu berpikir kreatif. Karena pada dasarnya tantangan kehidupan tidak semakin berkurang, tetapi bertambah demikian banyak dan kompleks.
Nah, apa yang bisa kita lakukan? Kebutuhan akan daya kreatif yang demikian besar, mau tidak mau membawa kita kepada pemikiran bahwa kita perlu mempersiapkan generasi yang mampu mengembangkan kreativitasnya. Mengapa demikian? Karena kreativitas merupakan sebuah potensi, tidak akan keluar dan menjadi manifestasi jikalau tidak ada usaha untuk menumbuhkannya. Artinya kreativitas perlu lahan dan suplemen agar tumbuh dan berkembang dengan baik.
Sekolah tentu saja tak lepas daru tanggung jawab menyediakan lahan dan suplemen tersebut. Bahkan posisi sekolah cukup strategis, mengingat sebagian besar waktu anak-anak dilalui di sekolah. Ujung-ujungnya pasti akan sampai di pembelajaran. Masalahnya, bagaimana membuat proses pembelajaran mampu mengasah kreativitas anak?
Ini juga sebagai hal pendorong dari sisi yang berbeda terhadap perlunya perubahan dalam sistem pembelajaran. Sudah waktunya kita tinggalkan pembelajaran yang hanya mengedepankan penguasaan materi. Pembelajaran yang bersifat dogmatis, tertutup. Pembelajaran yang hanya mengenal benar atau salah, tidak menutup kemungkinan baru atau hal yang lain. Praktek belajar yang bersifat pasif, searah.
Yang diperlukan sekarang adalah pembelajaran sejati. Disebut pembelajaran sejati karena sejatinya pembelajaran itu membelajarkan. Membelajarkan berarti menggerakkan potensi belajar. Menggerakkan tentu saja perlu daya, yaitu daya atau potensi berkembang dari anak-anak. Potensi, inilah yang harus kita cari dan gali dari anak-anak. Bukan menjejali mereka dengan ceramah tentang definisi, hukum, teori, rumus dan tetek bengek lainnya.
Potensi akan bangkit kalau menemukan stimulus yang menantang. Buatlah pembelajaran yang menantang, menarik, membuat berbagai kemungkinan, maka kreativitas anak akan menyala-nyala menerangi jalan menuju solusi yang lebih baik. Ada solusi, berarti ada pemecahan masalah. Ya, pembelajaran hendaknya memberikan masalah yang bisa membuat anak terpacu memberikan pemecahannya.
Kunci pembelajaran yang mengasah kreativitas adalah keterbukaan terhadap segala kemungkinan, keterbukaan terhadap hal-hal baru, dan menghargai setiap pemikiran. Paradigmanya adalah tidak ada pemikiran yang aneh atau konyol, semuanya mungkin saja. Dengan demikian, berikanlah masalah yang bersifat terbuka, pertanyaan yang bisa dijawab dengan berbagai kemungkinan. Bukan hanya benar atau salah semata.
Kunci sukses lainnya dalam memacu kreativitas adalah banyak humor. Suasana santai sering menumbuhkan solusi aneh untuk memecahkan suatu problem.